Itungan Jowo Ramashok
Menjadi suku jawa itu menyebalkan. Oke jangan dikira
rasis, saya suku jawa tulen. Tapi ini serius, saya punya keluh kesah yang hanya
dialami oleh masyarakat jawa. Jadi begini ceritanya, ada yang sudah familiar
dengan istilah weton? Lusan? Mlumah-murep? Balik winih?
Ngalor-ngulon? Nah sederet istilah di
atas adalah alasan-alasan untuk membatalkan atau setidaknya mempersulit laku
asmara seseorang.
Jadi sebelum tulisan ini dilanjut, saya akan mengucapkan
selamat kepada kalian-kalian para pembaca sialan yang kisah asmaranya tidak
tersandung masalah beginian. Lalu penulis bagaimana? Ya sudah jelas dong,
tulisan ini ada karena saya terganjal salah satu itungan jawa ramashok itu.
Oke, akan saya jelaskan sedikit mengenai istilah-istilah itu dengan paragraf
singkat.
Kalau weton
silahkan kalian hitung sendiri berapa angka kalian dan pasangan kalian. Angak
ini dipengaruhi oleh hari lahir kalian, beriringan dengan dino pasaran jowo.
Misalnya rabu pahing, senin kliwon, dll. Nah kalau lusan itu adalah singkatan
sebenarnya gaes. Lusan itu berarti telu sepisan, konteksnya akan sangat luas.
Misalnya anak pertama nikah sama anak nomor 3, itu lusan. Atau seorang perjaka
yang menikah dengan janda yang sudah 2 kali cerai, itu juga lusan. Jadi cukup
celakalah kalian yang merupakan anak ketiga, biasanya sih sering mengalami hal
ini hahaha.
Oke next ada istilah mlumah-murep.
Ini bukan istilah untuk skidipapap ya, yang cewe mlumah yang cowo murep, bukan
itu. Mlumah-murep ini sederhana, tapi agak susah dijelaskan. Jadi ceritanya itu
begini, ketika kalian (cowo) punya saudara dekat (cewe) dan dia menikah di desa
A, maka kamu tidak boleh menikahi orang dari desa A. Ini hanya berlaku kepada
saudara yang lawan jenis, kalau kalian dengan saudara dekat tsb berada pada gender
yang sama maka itu bukan mlumah murep.
Selanjutnya ada balik
winih, ini sih masih agak logis. Balik
winih ini ceritanya adalah kalian tidak boleh menikahi orang yang berasal
dari desa orang tua kalian. Mampus koen. Menurutku logikanya adalah bisa jadi yang
kalian nikahi adalah saudara (jauh) kalian. Ya, oke lah masih masuk akal. Yang
paling ga masuk akal itu ngalor-ngulon.
Sederhana saja, ketika rumahmu menghadap lor (utara) dan pasangan kalian
rumahnya menghadap kulon (barat), maka terpenuhilah sayarat ngalor-ngulon.
Gimana? Ngeri kan hahaha. Jadi sih sekedar saran aja ya, nanti kalau bikin
rumah arahnya ke timur atau selatan saja, biar aman nanti anak-anak kalian.
Gini bos, kan kita ini sebagai anak ga bisa request lahir
di urutan berapa gtu. Kalo bisa sih nomor 2 aja kan. Tapi kan gabisa gtu, lahir
aja belom udah minta-minta ke orang tua. Trus soal rumah yang menghadap utara
atau selatan, yo tulung kalau jalan di rumah kami arahnya ke timur, lalu tanah
yang dimiliki di selatan jalan, ya wes otomatis lah arah rumahnya ke utara.
Masa iya jalan raya ke timur lalu rumahnya ngadep timur, rak yo lucu.
Lalu apa efek ketika pantangan laku asmara ini dilanggar?
Katanya sih salah satu dari kedua pihak orang tua akan kalah. Kalah itu
maksudnya akan meninggal salah satu pihak. Nah yang pertama kali terlintas di
kepala saya adalah, “paribasan babakan
itungan jowo ramashok iku dituruti, opo yo wong tuwo ku ambi bakal bojoku arep
urip selawase? Yo kan ora ngunu“. Pernah suatu waktu saya ngobrol bareng yu
in, emak saya mengenai babakan itungan jawa.
Jadi ceritanya ada saudara saya yang akan ngedekne omah,
nah prosesi ngedekne omah itu harus dilakukan di hari yang spesifik, misalnya
sabtu pahing. Lalu timbulah percakapan kami berdua,
Agung : “lapo omae kudu di dekne dino iku?”
Yu in : “yo kudu dino kui, lak engga dino kui ngko omae
pas di nggeni bakal enek opo-opo”
Agung : “oke dadi lak misal dituruti di dekne omahe pas
sabtu pahing, omahe kui pas di nggeni sak lawase ora bakal enek masalah opo-opo
lancar jaya sentosa koyo harapan jaya nak jalan tol?”
Yu in : “yo urung mesti ngunu, jenenge urip ora enek sing
eruh”
Agung : @^$&*^$&@ (emosi gaes).
Nah kan, yu in saja tidak yakin kalaupun rumah itu
dibangun di hari yang ditentukan bakal menjamin keselamatan dan kesejahteraan keluarga
yang mendiami rumah tersebut. Doi malah bilang “jenenge urip ga enek sing
eruh”, ya kalau gtu ngapain diturutin, ya kan. Premis yang sama akan berlaku
untuk itungan jowo itu. Solusinya bagaimana terus? Solusinya banyak.
Jenenge tresno iku ga ono sing weruh bakale nak endi. Bahagiane anak iku podo pentinge karo bahagiane wong tuwo, ga kurang dan ga lebih. Bagi sing pengen percoyo ambi itungan jowo lan melestarikan budaya jawa monggo. Bagi yang tidak percaya sama yang begituan juga silahkan. Kalau saya sih ga percaya.
Ramashok
BalasHapusKisah nyata penulis, sak ni
BalasHapusasu
Hapus